Sabtu, 18 Mei 2013

"Identifikasi & Investigasi P-BmH Maret-Mei Tahun 2013 di Kabupaten Teluk Bintuni"

  I. 7 (Tujuh) Suku Di Teluk Bintuni
  1. SUKU WAMESA, terdiri atas beberapa Keret (marga) a.l: KAWAB, IDORWAY, WEKABURY, MAYSEWI, FIMBAY, WANEY 
  2. SUKU KURI, meliputi : URBON, REFIDESO, TATUTA, URBETE, PENETRUMA 
  3. SUKU SEBYAR, a.l : BAUW, PATIRAN, NAWARISA, NOSEFA, TONOY, KAITAM, KOKOP, PRABUN
  4. IRARUTU, meliputi : WELSIN,WOKROFA,KURIMA 
  5. SUKU SUOGH, a.l : IBA, MENCI, TIRI, TIBES, TEINUN, IRAI, YETU, IMERI, ONYOUW 
  6. SUKU MOSKONA, a.l: ASMARUN, O ROCOMNA, OGONEY, IBORI, I NGGOUW, MERENEPAORTUA, MOSOKODA, JEHIDO 
  7. SUKU SUMURI, a.l : SIMUNA, INANOSA, SIWANA, AGOFA, ATETA, KAMISOFA, SOWAI, WAYURI 
II. Pandangan Masyarakat Adat Dalam Mengelola Potensi sumber Daya Alam

Dalam sejarah kehidupan masyarakat adat di sekitar Kabupaten Teluk Bintuni melihat hutan sebagai tempat mencari nafka (sumber ekonomi) namun hutan tersebut mulai rusak karena masuknya perusahan-perusahan kayu yang di sewakan pemerintah pusat maupun daerah berkolaborasi dengan pihak perusahan yang beroperasi secara illegal merusak hutan masyarakat adat tanpa melihat dampak bagi anak cucu nantinya. Contoh kasus yang di temukan dalam penelitian ini adalah adanya informasi dari Ir. Y.E.Hematang Mantan MPH PT Yotefa Sarana Timber tentang adanya sistem penebangan hutan  yang dilakukan pihak perusahan tanpa berkoordinasi secara baik dengan masyarakat sehinga masyarakat mengkomplen bahwa tanah tersebut bukan milik perusahan tetapi milik masyarakat adat, dengan melihat hal tersebut pihak perusahan sering menggunakan oknum aparat seperti polisi terutama Brimob sehingga dalam melakukan posisi tawar, masyarakat menerima pasrah menyerahkan hutan mereka kepada pihak perusahan untuk di eksplorasi. Informasi serupa di peroleh dari bapak Oto Manibui Kepal suku wamesa di Teluk Bintuni, bahwa dengan masuk nya perusahan seperti PT Hendrison,Yotefa Sarana Timber,Rimbah artamas dan Marindo Utama Jaya hanya mengacaukan alam di Teluk Bintuni dan membuat komflik horizontal di masyarakat adat.contoh kompensasi yang di berikan perusahan tidak mencukupi jumlah komunitas yang ada di wilayah hutan masyarat hukum adat sehinga antara masyarakat dan masyarakat sering terjadi bentrok. Adapun kekesalan yang datang dari kepala kampung manimeri atibo mengatakan sangat menyesal dengan tindakan dari PT Hendrison Iryana yang dengan secara sewenang-wenang masuk mengelola hutan dan tampa berkordinasi dengan aparat kampung pihak perusahan langsung melakukan aktifitas dengan memanfaatkan jalur dalam kampung sebagai jalur yang digunakan utuk berlalu lalang mengholing kayu ke loker yang di buka dekat lokasi pemukiman sehinga pada saat siang hari atau aktifitas holing dimulai masyarakat selalu diresakan dengan debu yang beterbangan dampak dari pencemaran polusi udara tersebut menyebabkan banyak warga yang sering kesakitan dan penyakit yang diderita oleh mereka antara lain Flu,sesak nafas,paru-paru dan muntaber menurut kepala kampung perna memerintahkan warga untuk memalang jalur holing tersebut namun pihak perusahan mendatangkan aparat Brimob sehinga masyarakat takut dan menbuka palang tersebut.Menurutnya pihak pemerintah kampung perna menyurat kepada pihak perusahan untuk memberikan ganti kerugian dalam hal biaya perobatan masayarakat yang merupakan korban dari aktifitas perusahan namun pihak perusahan tidak menangapi tuntutan tersebut. 

III. Cagar Alam
Cagar alam teluk bintuni saat ini memiliki luas 124.850 hektar. Pada kawasan ini hidup beraneka satwa dan menjadi habitat kurang lebih 160 jenis-jenis burung, lebih dari 17 marsupial dan kurang lebih 39 jenis mamalia. Kawasan cagar alam ini telah mengalami beberapa kali perubahan luasan. Pada saat pertama diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an, luas areal cagar alam ini kurang lebih 450.000 hektar.
Keberadaan hutan mangrove di Teluk Bintuni kemudian oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia pada tahun 1982, merespon usulan dari WWF tetapi dengan mengusulkan areal yang lebih kecil yaitu seluas 357.300 ha. Oleh Departemen Pertanian, kelompok hutan mangrove Sungai Aramasa, sungai weperar, Sungai Wagura dan sungai Kaitero diusulkan menjadi bagian yang ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Pada tanggal 10 November 1982, cagar alam teluk bintuni secara definitif ditunjuk sebagai daerah cagar alam melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian N0. 182/Kpts/UM/11/1982, yang meliputi areal seluas 300.000 ha.
Luasan tersebut ternyata lebih kecil dari pada luasan yang diusulkan sebelumnya (357.300 ha). Pengurangan areal ini disebabkan karena ada areal seluas 57.300 ha yang dialih-fungsikan menjadi hutan produksi berdasarkan Forest Agreement No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara Menteri Pertanian Republik Indonesia dan PT. Bintuni Utama Murni Wood Industri (PT BUMWI). Ini merupakan realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 19 Januari 1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan hak pengusahaan Hutan di Wilayah Provinsi Papua.
Pada tahun 1991, AWB/PHKA melakukan suatu studi untuk merevisi kembali luasan Cagar Alam yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 182/Kpts/UM/11/1982 dan usulan WWF/IUCN/PHPA tahun 1983. Latar belakang usulan revisi ini adalah karena terjadi tumpang tindih peruntukan kawasan antara CATB dengan areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekitar kawasan Teluk Bintuni seperti PT Henrison Iriana, PT BUMWI dan PT Yotefa Sarana Timber.
Beberapa alasan penyebab revisi yang diusulkan oleh AWB/PHKA tahun 1991 adalah Areal konsesi HPH PT Henrison Iriana seluas ± 54.000 ha yang merupakan habitat mangrove di masukan sebagai kawasan Cagar Alam dengan pertimbangan HPH ini tidak membutuhkan mangrove sebagai bahan baku industrinya.
  1. Areal pegunungan yang curam antara sungai Yakati dan Hutan mangrove dan merupakan hutan produksi di masukan sebagai areal Cagar Alam karena keunikannya dan sangat rentan bila dieksploitasi. 
  2. Rencana pencadangan areal HPH PT Bina Lestari Tarakan Jaya yang merupakan hutan mangrove dan tumpang tindih dengan Cagar Alam harus dikeluarkan dan dimasukan sebagai areal Cagar Alam.
Berdasarkan hal diatas, AWB/PHKA mengusulkan areal seluas ± 260.000 ha sebagai kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, termasuk daerah-daerah perairan teluk seluas ± 60.000 ha dengan koordinat 133º 133 - 134º 02’ BT dan 2º 02’ - 2º 30’ LS. Pada tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di kawasan cagar alam dilakukan oleh PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT Henrison Iriana dengan panjang batas yang terealisasi sepanjang 77.247.76 meter. Tata batas tahap kedua dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT) manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar kawasan dan batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi 172.846,20 meter yang kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Provinsi dan perairan Papua. Berdasarkan pelaksanaan tata batas ini, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni menjadi 124,850 Ha. Luasan mangrove yang ada dikawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua, masih utuh dan kompak dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi. Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil dan industri udang yang ada; Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), (petocz, 1983). Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di Wilayah kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran di provinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. di tingkat Distrik, kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administrative Distrik Bintuni, Distrik Idoor dan Distrik Kuri.

Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam, CATB berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Irjabar.
Namun perkembangan yang terjadi selama ini bahwa daerah yang ditetapkan sebagai daerah konserfasi oleh pemerinta KSDA akan di alifungsikan demi kepentingan infestasi dimana distrik Idoor yang merupakan daerah Cagar Alam dimana salah satu pulaunya yang dinamakan pulau modan dengan kondisi georafisnya pulau tersebut terlahir dari pulau yang memang berbatu dengan luasan diperkirakan sekitar 1000 ha.Letak pulau tersebut berada di daerah muara sungai Idoor yang direncanakan Oleh BP indonesia akan membeli pulau tersebut untuk tujuan pembagunan sarana prasana.sehinga pihak BP sendiri merencanakan akan mengambil batu karang dari dipulau tersebut.dan BP Merencanakan akan membeli pulau tersebut  ternyata rencana BP untuk membeli pulau modan tidak terlepas dari komflik kepemilikan dimana persowlan inilah saat ini menjadi menguat di tingkat lokal dimana pihak BP telah menbangun konpirasi dengan salah satu marga (Fimbay yang memang bukan pemilik hak ulayat di pulau tersebut sehinga dari status kepemilikan tersebut ada marga dari dua distrik yaitu Distrik Idoor,Distrik Kuri dimana kedua marga yaitu marga Urbun,wanei dan beperandi tidak setuju denaga hak mereka yang telah dijual oleh marga Fimbay yang berdomisili di distrik Babo Kapada pihak BP sehinga sampai saat ini masyarakat dari kedua suku besar antara suku kuri dan wamesa terkesan tidak lagi hidup rukun.hal yang sangat memprihatinlan pihak pemerintah dalam hal ini dinas kehutan Kabupaten Teluk Bintuni sendiri tidak perduli dengan persowalan ini padahal dinas Kehutanan telah mengetahui daerah tersebut masuk dalam daerah cagar alam yang harus dilindungi di mana pihak kehutan dan pemerintah harus serius untuk melihat hal ini.

IV. Gender
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Papua sudah lama berlangsung dan bukan menjadi rahasia lagi. Kekerasan bisa terjadi di hadapan umum maupun tersembunyi rumah-rumah nyaman milik masyarakat berbagai kelas sosial di Papua, tak terkecuali di wilayah Teluk Bintuni. Ironisnya mayoritas masyarakat belum rnemahamimya sebagai bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Data akurat tentang kekerasan terhadap perempuan di Teluk Bintuni memang belum tersedia dengan baik, karena penelitian yang khusus dan komprehensif tentang ini belum pernah dilaksanakan. Namun setiap hari kita disuguhi berita dan kenyataan betapa seringnya terjadi perselingkuhan, perkosaan, penganiayaan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap perempuan pasangan hidup resmi, pacar, maupun perempuan pekerja sex. Peristiwa kekerasan fisik itu amatlah sering terjadi, bahkan di jalan-jalan, dan bisa ditonton oleh masyarakat umum yang acap kali memandangnya sebagai suatu hal yang wajar dan biasa.
Sesungguhnya, dalam sistem budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik, seperti pada beberapa suku yang menggambarkan perempuan dalam simbol-simbol keagungan seperti misalnya simbol pohon sagu yang artinya sumber kehidupan. Namun hal ini bukan berarti sama dalam praktek kehidupan sehari-hari dimana perempuan justru jadi sasaran empuk kekejaman. Bila dilihat dari kacamata budaya, yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan mungkin saja sesuatu yang justru dilanggengkan atas nama perlindungan masyarakat terhadap perempuan. Nilai-nilai kekerasan itu terinternalisasi dalam berbagai aturan, norma dan tradisi yang diyakini dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum perempuan sendiri, sebagai pendukung kebudayaan, merasakan bahwa ini adalah hal yang biasa, sudah takdir dan bahkan merasa apa yang dialaminya memang sudah semestinya diterima sebagai seorang perempuan.
Hampir di seluruh wilayah Papua, termasuk Teluk Bintuni, perempuan adalah tulang punggung keluarga. Ia bekerja di kebun mulai dari menanam sampai panen, menokok sagu mulai dari menebang sampai memisahkan tepung sagu dari serabutnya, dan membawa pulang sendiri ke rumah yang jaraknya lebih dari 7 km dari kebun. Namun, kontribusi ekonomi itu tidak serta merta mengangkat posisi tawar perempuan sehingga terhindar dari kekerasan. Bahkan akibat tekanan ekonomi keluarga, seorang anak perempuan bisa saja dikawinkan dalam usia di bawah umur seiring dengan munculnya gejala mas kawin perempuan papua yang semakin membesar. Tak jarang seorang suami menyatakan bahwa kekerasan terhadap istrinya adalah hal yang sah, karena toh ia telah membayar mahal kepada keluarga istri ketika hendak mengawininya. Mas kawin yang agung itu, serta merta berubah menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan keji dalam rumah tangga, sepanjang kehidupan perkawinan. Kekerasan terhadap perempuan sama sekali bukanlah hal yang wajar, boleh dibiarkan, dan tidak bisa dihentikan. Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah ekspresi dari kekeliruan struktur sosial dan sistem politik memandang perempuan. Di samping itu, kekerasan ini tidak bisa lagi digolongkan sebagai masalah privat atau domestik (rumah tangga), melainkan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak azasi perempuan. Hal ini diperkuat dengan terbitnya UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Sejak bulan awal Maret hingga pertengahan April 2007 Gema Puan telah melakukan penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga. Laporan ini adalah hasil dari penelitian tersebut.

V. Konflik Tapal Batas





 














VI. Illegal Logging dan Penambangan Liar











VII.Pertambangan Minyak Dan Perkebunan Kelapa Sawit
Bumi Teluk Bintuni selain memiliki limpahan minyak dan gas alam cair yang segera dieksploitasi, juga terhampar luasan hutan yang luas. Potensi ini bisa dilihat jelas dari ceceran lahan-lahan minyak di atas tanah di kampung Sumuri Distrik Sumuri. Masyarakat sekitar sejak lama telah memanfaatkan hutan adat mereka sebagai tempat berburu dan meramu.  Para investor dalam maupun luar negeri telah lama melirik potensi Minyak dan rencana pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, terutama di daerah Sumuri yang kandungan Minyaknya menggiurkan untuk dieksploitasi karena memiliki nilai jual yang tinggi. Pada tahun 2008 Lukuk Sumiarso Dirjen Migas Depatemen Sumberdaya Energi dan Mineral (ESDM) mengumumkan Kontraktor Kontrak kerja Sama (KKKS) PT Ginting Oil & Gas Ltd yang memenangkan blok Kasuri (Blok Sumuri Untuk 5 sumur Minyak) dengan memberikan bonus tandatangan sebesar 19.000.000 kepada Lukuk Sumiarso .Berdasarkan informasi pemenang tender yang diterima PT Ginting Oil & Gas Ltd,langsung melakukan expansi ke wilayah Teluk Bintuni dengan memulai aktifitas Operasi Sesmick yang dilakukan oleh PT Quis Pada Tahun 2010 untuk mengeksplorasi Minyak Distrik Sumuri. Menejer direktur PT. Ginting Oil Minyak & Gas Ltd Bambang yang bertugas dilokasi proyek saat ini perna menyatakan telah mengantongi ijin dari Pemerintah Pusat berdasarkan informasi pemenang Tender untuk eksplorasi dan mencari joint investement. Dan untuk Recana explorasi Minyak oleh PT.Ginting Oil saat ini lagi gencar-gencarnya mengembangkan proyek tersebut.Kondisi ini membuat Pada tanggal 29 Maret 2012 Pihak perusahan bersama pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dalam hal ini Kepala Distrik Sumuri telah mengundang sejumlah tokoh adat, tokoh pemuda, dan pemilik hak ulayat untuk melakukan hearing di Balai Kampung terkait rencana explorasi dan Kepemilikan lahan.
Master plan perusahaan tersebut menetapkan pada akhir Desember 2012  sudah harus tuntas kegiatan explorasi yang dilakukan diarel pertambangan yang dimulai dari kawasan Distrik Sumuri sampai dengan Distik Arobah dan Distrik Kokas Kabupaten Fak-Fak yang berbatasan dengan Bintuni.Menurut masyarakat, perusahaan tersebut akan meminta mereka ikut serta dalam AMDAL.
Masyarakat adat menghimbau pemda, agar dilakukan musyawarah atau gelar tikar adat yang melibatkan kelompok masyarakat adat, pemuda, tokoh agama, perempuan dan LSM untuk bersama-sama membahas pengaturan kontrak terkait dengan hak-hak masyarakat, baik yang berkaitan dengan hak ulayat maupun jaminan tiadanya kerusakan lingkungan maupun kasus pelanggaran HAM pada masa mendatang. Tetapi di sisi lain ada beberapa anggota masyarakat (para pimpinan suku) yang menerima hadirnya PT.Ginting Oil Tbk dan sangat menunggu “uang buka pintu” dari perusahaan tersebut. Di sisi masyarakat mereka mengaku tidak lagi mampu menolak kehadiran perusahaan tambang yang datang di kampungnya, karena jika mereka bersikeras menolak mereka akan berhadapan dengan pimpinan-pimpinan suku mereka. Selain mereka kawatir akan terjadi kekerasan oleh TNI/Polri yang beberapa personilnya memiliki saham di dalam perusahaan. Sehinga pada saat ini mereka hanya bisa pasrah dan menerima keadaan tersebut.
Selain Pertambangan,ada juga Perkebunan Kelapa sawit yang sudah beroperasi sejak tahun 1996 oleh PT.Farita Maju Utama,Pada Tahun 2008 PT.Farita Menjual sahamnya kepada PT.Karya Teknik dan Pada Tahun 2009 PT karya teknik menjual sahamnya kepada PT.Expedisi dengan memanfaatkan lahan Perkebunan seluas 3300 hektar yang dibeli dari masyarakat adat seharga  Rp.100.000.000,. Informasi lain juga yang diperoleh dari salah seorang tokoh Gereja yang berada di Dsitrik Sumuri,mengatakan bahwa tanah tersebut sudah dilepas dengan perjanjian yang ditandatangani antara pihak pertama den pihak kedua dimana pada butir terahir perjanjiannya mengatakan bahwa tanah tersebut tidak akan dituntut sampai anak cucu dan apa bilah dikemudia hari ada muncul gugatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak pertama.hal inilah yang membuat mereka tidak bersuara mengigat seketika mereka menuntut perusahan selalu mengunakan aparat bersenjata untuk menindas rakyat.
Analisis
 
Kampung Sumuri terletak kurang lebih 40 km sebelah Selatan pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni. Kampung yang lokasinya di tengah areal Lokasi perusahan-perusahan raksasa pertambangan dan terisolir ini dihuni oleh Penduduk yang berjumlah 6.224 jiwa.Untuk mencapai Kampung tofoi, tidak bisa menggunakan kendaraan darat, selain transportasi laut dengan ongkos sewa longbout Rp 3.000.000,-dari pusat kota Bintuni.Wilayah Tofoi yang terpencil membuat penduduknya jarang berpergian keluar kampung.

Ini mengakibatkan arus informasi sangat lambat, baik dari luar kampung maupun sebaliknya. Sebagian wilayah yang hendak dieksplorasi adalah bekas area HPH PT. Jayanti Grup. Selain mengusahakan hutan setempat,PT Jayanti Grup otomatis telah melakukan land clearing, sehingga memudahkan perusahaan tambang Minyak dan Perkebunan Kelapa Sawit yang akan masuk kemudian. Modus operandi ini sudah biasa terjadi, setelah selesai perusahaan pembalak hutan beroperasi biasanya akan diikuti dengan hadirnya perusahaan tambang atau perkebunan. Misalnya perkebunan sawit milik PT. Varita Maju Utama di daerah Tofoi yang kini sudah berpindah sahan kepada PT Expedisi sebelumnya adalah areal dimana PT. Agoda Rimba Irian melakukan pembalakan hutan. Tentu saja ini sudah direncanakan sejak awal, karena keduanya adalah anak perusahaan Djayanti Group.
Tambang Minyak akan membabat hutan, lalu mengoyak dan mengeruk bumi Sumuri. Proses tambang Minyak Bumi dipastikan akan memicu polusi yang parah terhadap laju kerusakan hutan. Setelah selesai dikeruk, tambang akan meninggalkan sisa-sis limba dan kekeringan yang sulit dipulihkan. Masyarakat Sumuri saat ini tengah bertanya-tanya, akankah nasib mereka seperti rakyat sekitar Freeport? Kehadiran perusahaan pengeruk sumber daya alam, terutama tambang, potensial memicu kekerasan militer di Papua. Jika benar perusahaan ini memiliki kaitan dengan aparat militer atau para eks perwira militer atau institusi militer yang berbisnis melalui para purnawirawan, maka dapat dimaklumi kekawatiran penduduk Sumuri akan keselamatan hidup mereka. Dari pengalaman yang terjadi, misalnya di daerah Furwata masyarakat suku Irarutu diintimidasi oleh aparat di sekitar PT. Djayanti, sebuah perusahaan raksasa milik Brimob. Kasus penembakan warga Meriedi diduga kuat juga terkait dengan perusahaan ini (meski yang muncul di permukaan adalah issu pembubaran aliran sesat). Akhirnya Suku Irarutu harus rela kehilangan tanah 90,000 ha untuk PIR kelapa sawit yang rencana di kembangkan lagi.
Potensi konflik horisontal diperkirakan akan meningkat, ketika para kepala suku Sumuri merestui kehadiran tambang sementara masyarakat bersikap resisten. Kecenderungan yang ada, perusahaan langsung bernegosiasi dengan para kepala suku. Negosiasi ini dilakukan oleh pihak ketiga, seperti yang dilakukan para anak adat di yang bermain ditingkat Jakarta dengan mendirikan sebuah yayasan untuk meyakinkan para pemilik modal menamkan sahamnya di PT Ginting Oil & Gas (Pimpinannya Max) memfasilitasi PT. Ginting Oil dengan masyarakat. Yayasan ini memang didirikan untuk misi membuka pintu investasi, dengan berperan sebagai negosiator perusahaan saat berhadapan dengan masyarakat, kepala suku, atau kepala marga.
Pada saatnya, keberlanjutan persediaan pangan juga akan terancam. Dusun2 sagu dipastikan akan musnah, pun lahan berburu dan berkebun. Demikian juga persediaan air akan berkurang, karena hutan primer di Sumuri adalah penangkar air yang sangat berguna bagi kampung-kampung di sekelilingnya.
Suatu hal yang masgul bila ada yang menyatakan rencana eksplotasi tambang Minyak tersebut adalah demi kesejahteraan rakyat. Karena sebuah bencana sedang menanti masyarakat di sekitar tambang. Uang ganti rugi, serta janji kerja buruh di pertambangan sungguh tak sebanding dengan kerusakan dan penderitaan yang bakal terjadi. 

VIII. Sektor Kehutanan
Masyarakat  asli Papua (Masyarakat Adat) tidak mengakui adanya Hutan Negara (Kawasan Hutan), mereka beranggapan seluruh tanah dan hutan di wilayah Papua adalah hak adat mereka. Sehingga  kejahatan terhadap lingkungan merupakan kejahatan kemanusiaan yang berdimensi pelanggaran HAM berat. Maka kejahatan terhadap lingkungan harus di hapus.! Sebagian besar masyarakat Papua hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan sistem meramu.  Berdasarkan hukum adat Papua, hutan adalah “ibu kandung” yang memelihara dan memberi makan bagi mereka.  Namun kehidupan mereka umumnya tergolong miskin dengan berbagai keterbatasan di bidang pendidikan, kesehatan, dan isolasi daerah.  Selain faktor sosial budaya masyarakat, beberapa pihak menilai bahwa kondisi tersebut diakibatkan oleh rendahnya akses masyarakat adat untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan dalam wilayah hukum adatnya.
Terkait dengan menjamurnya infestasi di Teluk Bintuni menyebabkan tanah di Teluk Bintuni diperlakukan sebagai Tanah kosong tanah tampa kepemilikan.informasi lain yang kami catat sampai dengan Tahun 2012 ini ada sekitar 8 HPH yang beroperasi di Teluk Bintuni dimana HPH-HPH tersebut tidak memiliki dokumen Amdal yang jelas sehingga sulit dikontrol.dampak lain yang juga terekan dalam proses pemantauan ternya HPH merupakan instrumen terampu melahirkan krisis di Teluk Bintuni,Baik secara Fisik/kimia,Sosial yaitu,sosial ekonomi,sosial budaya dan dampak ekologis, dimana sumber-sumber penghidupan rakyat mulai berkurang dan hewan buruan semakin jauh,bahkan diprediksikan dari total luasan Teluk Bintuni 18,637 KM2 5 s/d 10 Tahun kedepan hutan di Teluk Bintuni akan terancam musna disebabkan penebangan yang dilakukan oleh HPH dan HTI dengan memanfaatkan Lahan seluas 1562.000 ha  yang tidak terkontrol.dari sisi sosial juga terlihat kehadiran HPH-HPH ini turut menciptakan ketergantungan bahkan komflik diantara masyarakat adat dan non Papua,militer serta Tanah yang dibeli dengan harga murah.Dari diskusi yang dibangun terdengar bahwa ada sebagian anak usia dewasa diareal perusahan di Teluk Bintuni yang tidak bisa menbaca dan menulis hal itu disebabkan karena mereka memili menjadi buru pada perusahan-perusahan kayu tersebut. Masuknya HPH di Teluk Bintuni Tidak memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan Masyarakat sekitar hutan,hal ini terlihat jelas dari dampak lingkungan yang terjadi sepanjang sejara pengelolaan hutan di Teluk Bintuni Ironisnya terjadi monopoli pasar disekitar areal perusahan,dimana perusahan mengabaikan komitmen sosial budaya masyarakat sekitar hutan modusnya hutan ditebang dan pergi begitu saja dengan meningalakn dapampak yang sangat buruk.
HPH-HPH ini juga turut memanipulasi instrumen Hukum yang ada,oleh sebab itu mestinya pemerintah Pusat dan Provinsi tidak memaksakan kehendak untuk memberikan hak pengelolaan hutan kepada perusahan-perusahan HPH,sawit yang pada ahirnya tidak memberikan manfaat bagi daerah pengasil.Menjadi pertanyaan juga bagai mana dengan SK 2 Gubernur Papua dan Papua Barat semestinya itu yang berlu untuk dijalankan agar HPH-HPH ini tidak bekerja semaunya mereka dengan memanfaatkan minimnya informasi dari masyarakat tentang apa yang semestinya mereka dapat dari manfaat pengelolaan hutan tersebut.dan saran saya kalau hutan di Jawa,Sumatra dan kalimantan sudah hancur maka papua harus bisa diselamatkan, bagi saya masyarakat adat memiliki hak VETO untuk mengatakan ya atau tidak demi anak cucu kita di kemudian hari.
PT Yotefa Sarana Timber pada tanggal 13,April Tahun 2008 Telah mengalokasikan Dana sebesar 3 Milyar yang di peruntukan untuk pembayaran 196 karyawan.Sumber dana yang di peruntukan oleh PT Yotefa untuk membayar karyawan dana tersebut di pinjam dari pemerintah Kab.Teluk Bintuni itu artinya Manajemen Perusahan akan meningkatkan lahan produksi dan hal ini akan turut mempengaruhi laju kerusakan hutan di kawasan manimeri dampaknya akan terjadi pergeseran lahan-lahan sentra produksi masyarakat adat mulai dari berburu hingga kekeringan masalah air bersih. 

IX. Pertambangan Batu Bara
Bumi Teluk Bintuni selain memiliki limpahan minyak dan gas alam cair yang segera dieksploitasi, juga terkandung potensi Batubara yang sangat besar. Potensi ini bisa dilihat jelas dari ceceran batubara di atas tanah di kampung Warganusa Distrik Babo, dan Kampung Horna Distrik Bintuni. Masyarakat sekitar sejak lama telah memanfaatkannya untuk pengusir nyamuk saat pergi ke hutan atau melaut.
Para investor dalam maupun luar negeri telah lama melirik potensi batubara ini, terutama di daerah Horna yang kandungan batubaranya menggiurkan untuk dieksploitasi karena umurnya sudah tergolong tua. Pada tahun 2003 PT. Papua Bersama Gemilang (PBG) Jakarta bersama investor asal Hungaria telah mencoba masuk untuk mengeksplorasi batubara di kampung Horna. Perusahaan ini di tingkat lokal berkongsi dengan adik kandung bupati care taker yang waktu itu dijabat Decky Kawab. Presiden direktur PT. PBG Karta Wijaya Gunawan waktu itu menyatakan telah mengantongi ijin dari Pemda Teluk Bintuni untuk eksplorasi dan mencari joint investement. Di samping batubara, PT. PBG rencananya juga akan memanfaatkan potensi perikanan bekerjasama dengan investor Belanda. Selain itu, perusahaan tersebut juga ditawari oleh Pemda memanfaatkan potensi penebangan kayu di Bintuni, bekerjasama dengan investor Cina. PBG menyatakan akan membangun industri hasil hutan, yang produksinya akan dijual ke pasar dalam negeri maupun export (Miningindo.com, 16 Juni 2003).
 
Namun pada bulan Juli 2006, mendadak muncul nama PT. Asoka Abadi (AA), sebuah perusahaan yang berkantor di Jakarta. Perusahaan yang dipimpin oleh Letjen TNI (Purn) Marinir Soeharto ini telah menurunkan timnya untuk melakukan eksplorasi tambang batu bara di kampung Horna, setelah melihat potensi batubara yang dipamerkan Dinas Pertambangan Kabupaten Teluk Bintuni di sebuah hotel di Jakarta. PT. AA meminta jaminan dan dukungan sepenuhnya dari Pemkab Teluk Bintuni sebelum melanjutkan kegiatan ke tahap eksploitasi. Pemkab mengatakan seluruh jajaran pemerintah dan masyarakat setempat menyambut baik investor yang ingin menanamkan modalnya mengelola potensi SDA hingga ke daerah pedalaman Teluk Bintuni (Antara, 22 Juli 2006).
Lembaga Bin Madag Hom (sebuah organisasi pemuda di Teluk Bintuni) menyatakan pada bulan November 2006 ini sebuah perusahaan lain bernama PT. Timah Tbk. telah mengantungi ijin dari pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan eksplorasi batu bara di kampung Horna. Kabarnya sejumlah petinggi TNI dan Polri mengikutsertakan sahamnya dalam upaya pengerukan sumber daya alam di Teluk Bintuni ini. PT. Timah Tbk berencana melakukan eksplorasi pada akhir bulan Januari 2007, tinggal menunggu persetujuan dari Dewan Adat Papua (DAP) wilayah III Kepala Burung Papua dan Pemda Kabupaten Teluk Bintuni.
 
Rencana explorasi ditetapkan seluas 30 ribu ha untuk lokasi tambang, sedangkan lapangan tambang sebesar 60 ribu ha. Pada tanggal 14 Nopember 2006 pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia telah mengundang sejumlah tokoh adat, tokoh pemuda, dan pemilik hak ulayat untuk melakukan hearing di Jakarta terkait rencana explorasi.
 
Master plan perusahaan tersebut menetapkan pada akhir Januari 2007 akan melakukan kegiatan explorasi dengan membuka lahan untuk tahap pertama sebesar 2.500 hektar, yang dimulai dari kawasan Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari yang berbatasan Bintuni. Menurut masyarakat, perusahaan tersebut akan meminta mereka ikut serta dalam AMDAL. Masyarakat adat menghimbau pemda, agar dilakukan musyawarah atau gelar tikar adat yang melibatkan kelompok masyarakat adat, pemuda, tokoh agama, perempuan dan LSM untuk bersama-sama membahas pengaturan kontrak terkait dengan hak-hak masyarakat, baik yang berkaitan dengan hak ulayat maupun jaminan tiadanya kerusakan lingkungan maupun kasus pelanggaran HAM pada masa mendatang. Tetapi di sisi lain ada beberapa anggota masyarakat (para pimpinan suku) yang menerima hadirnya PT. Timah Tbk dan sangat menunggu “uang buka pintu” dari perusahaan tersebut. Di sisi masyarakat mereka mengaku tidak lagi mampu menolak kehadiran perusahaan tambang yang datang di kampungnya, karena jika mereka bersikeras menolak mereka akan berhadapan dengan pimpinan-pimpinan suku mereka. Selain mereka kawatir akan terjadi kekerasan oleh TNI/Polri yang beberapa personilnya memiliki saham di dalam perusahaan. Sehingga pada saat ini mereka hanya bisa pasrah dan menerima keadaan tersebut.
Analisis 
Kampung Horna terletak kurang lebih 40 km sebelah utara pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni. Kampung yang lokasinya di tengah hutan dan terisolir ini dihuni oleh suku Sough yang berjumlah 274 jiwa. Untuk mencapai Horna, tidak bisa menggunakan kendaraan darat biasa, selain mobil jenis hardtop dengan ongkos sewa Rp 3.000.000 dari pusat kota Bintuni. Hardtop ini hanya bisa sampai kampung Tembuni, setelah itu orang harus berjalan kaki selama 1 hari sebelum tiba di Horna. Jika berangkat dari Manokwari, orang harus menggunakan pesawat Cesna yang disewa secara khusus. Wilayah Horna yang terpencil membuat penduduknya jarang berpergian keluar kampung. Ini mengakibatkan arus informasi sangat lambat, baik dari luar kampung maupun sebaliknya.

Sebagian wilayah yang hendak dieksplorasi adalah bekas area HPH PT. Yotefa Sarana Timber. Selain mengusahakan hutan setempat, PT. Yotefa otomatis telah melakukan land clearing, sehingga memudahkan perusahaan tambang batubara yang akan masuk kemudian. Modus operandi ini sudah biasa terjadi, setelah selesai perusahaan pembalak hutan beroperasi biasanya akan diikuti dengan hadirnya perusahaan tambang atau perkebunan. Misalnya perkebunan sawit milik PT. Varita Majutama di daerah Babo sebelumnya adalah areal dimana PT. Agoda Rimba Irian melakukan pembalakan hutan. Tentu saja ini sudah direncanakan sejak awal, karena keduanya adalah anak perusahaan Djayanti Group.
Tambang batubara akan membabat hutan, lalu mengoyak dan mengeruk bumi Horna. Proses tambang batubara dipastikan akan memicu polusi yang parah. Setelah selesai dikeruk, tambang akan meninggalkan lubang-lubang besar menganga dan kekeringan yang sulit dipulihkan. Masyarakat Horna saat ini tengah bertanya-tanya, akankah nasib mereka seperti rakyat sekitar Freeport? Kehadiran perusahaan pengeruk sumber daya alam, terutama tambang, potensial memicu kekerasan militer di Papua. Jika benar perusahaan ini memiliki kaitan dengan aparat militer atau para eks perwira militer atau institusi militer yang berbisnis melalui para purnawirawan, maka dapat dimaklumi kekawatiran penduduk Horna akan keselamatan hidup mereka. Dari pengalaman yang terjadi, misalnya di daerah Babo masyarakat suku Simuri diintimidasi oleh aparat di sekitar PT. Djayanti, sebuah perusahaan raksasa milik Brimob. Kasus penembakan warga Meriedi diduga kuat juga terkait dengan perusahaan ini (meski yang muncul di permukaan adalah issu pembubaran aliran sesat). Akhirnya Suku Simuri harus rela kehilangan tanah 90,000 ha untuk PIR kelapa sawit.
Potensi konflik horisontal diperkirakan akan meningkat, ketika para kepala suku Sough merestui kehadiran tambang sementara masyarakat bersikap resisten. Kecenderungan yang ada, perusahaan langsung bernegosiasi dengan para kepala suku. Negosiasi ini dilakukan oleh pihak ketiga, seperti yang dilakukan oleh Forum Solidaritas Pengembangan Masyarakat, wilayah IJB (pimpinan La Hada Sp.) yang memfasilitasi PT. Asoka Abadi dengan masyarakat. Forum ini memang didirikan untuk misi membuka pintu investasi, dengan berperan sebagai negosiator perusahaan saat berhadapan dengan masyarakat, kepala suku, atau kepala marga.
 
Pada saatnya, keberlanjutan persediaan pangan juga akan terancam. Dusun2 sagu dipastikan akan musnah, pun lahan berburu dan berkebun. Demikian juga persediaan air akan berkurang, karena hutan primer di Horna adalah penangkar air yang sangat berguna bagi kampung-kampung di sekelilingnya.
 
Suatu hal yang masgul bila ada yang menyatakan rencana eksplotasi tambang batubara tersebut adalah demi kesejahteraan rakyat. Karena sebuah bencana sedang menanti masyarakat di sekitar tambang. Uang ganti rugi, serta janji kerja buruh di pertambangan sungguh tak sebanding dengan kerusakan dan penderitaan yang bakal terjadi.
 
Dari berbagai hal yang terjadi di Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2007-2008. Pemerintah dengan legitimasihnya melalui Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni.Dengan adanya sejumlah ijin yang di keluarkan oleh Pemda Teluk Bintuni terkait ijin explorasi pertambangan batu bara di horna Pemda telah mengeluarkan ijin dari 30.000 He yang di tentukan untuk tahap pertama di tahun 2008 pemda telah menegeluarkan ijin seluas 7500 Ha yang di peruntukan oleh PT Beringin Jaya Yang berkantor pusat didok lima Propinsi Papua.
X. Pembagunan Daerah
Tujuan dari pada pembangunan nasional di Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang mandiri, adil dan sejahtera masih sangat jauh dari harapan masyarakat Teluk Bintuni di Tanah Papua. Ketimpangan pembangunan di daerah tersebut masih terasa di setiap sektor-sektor pembangunan termasuk didalamnya kesetaraan gender dan pemberdayaan. Kondisi tersebut menyebabkan  sebagian kecil orang semakin sejahtera, kuat dan memiliki akses luas terhadap eksistensi sumberdaya dalam sharring potensi dan kebijakan yang berpengaruh pada mayoritas masyarakat menjadi tidak berdaya.
Wacana Pemekaran Daerah Kabupaten Wamesa Tengah Tidak Menguntungkan Rakyat 
Posisi Kampung Werabur secara administrasi merupakan wilayah  Pemerintah Distrik Nikiwar Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat dan terletak di ketingian 700 meter diatas permukaan air laut,posisi Kampung Werabur juga memiliki hutan yang menghampar luas membuat panorama sekitarnya terlihat indah mempesona.

Dari sisi soial Budaya Kampung Werabur dihuni oleh empat marga besar yaitu,Wekaburi,Wetebosy,Kandami dan Torembi dimana secara sosial Budaya masih terpeta kuat di antara masyarakat adat Werabur yang merupakan rumpun dari Suku Wamesa di Teluk Wondama dan Teluk Bintuni.

Selain Luas wilayah Kampung Werabur yang strategis ini membuat elit-elit lokal berupaya untuk membentuk Daerah Pemekaran baru dengan dalil memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah demi mewujudkan masyarakat Wamesa tenga yang sejatra sama dengan saudara-saudar lain di Papua.Dan untuk posisi ibu kota kabupaten akan di tempatkan di Kampung Werabur Dsitrik Nikiwar,namun wacana tersebut sulit diterima oleh masyarakat setempat  mengingat Hutan,batu,kali dan gunun merupakan ibu kandung bagi masyarakat adat di Kampung Werabur.

Menurut beberapa tokoh adat Wacana Pemekaran daerah Wamesa tenga dinilai keliru karena secara ekologi Kampung werabur merupakan daerah resapan air dan hutan sekitar merupakan penyanga bagi kelangsungan hidup masyarakat adat setempat,sehinnga apa bila pemekaran terus dipaksakan sangat bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya yang berdampak pada hilangnya Nilai-Nilai Kearifan lokal Masyarakat tradisional,dimana ketika tanah dan hutan kami ditukar dengan pemekaran,maka musnala kita. dan pihaknya juga mengatakan bahwa bukan dengan pemekaran kita bisa hidup,tetapi masih ada cara lain untuk mensejhtrakan masyarakat werabur.
SEPTER WEKABURI salah satu tokoh masyarakat ia menghimbau kepada seluruh masyarakat sekitar kampung Werabur untuk dengan rasa kita mempertimbangkan niat  membentuk Daerah pemekaran baru,meningat dampak dari pemekaran yang sudah terjadi di Tanah Papua menunjukan bahwa masyarakat adat sampai dengan saat ini masih saja menjadi penonton setia menyaksikan seluru hak turunan atas Tanah mereka dirampas dan dijarah tanpa ada yang tersisa buat anak cucu di kemudian hari.
Di sisi lain Beliau juga menyingung  jangan karena jabatan kita menghancurkan harta karun titipan “IBU PERTIWI’’  yang tersimpan bertahun-tahun lamanya,oleh karena itu pihaknya mengharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama,Pemerintah KabupatenTeluk Bintuni,Pemerintah Prov Papua Barat dan Pemerintah Pusat  untuk tidak merespon perjuangan aspirasi pemekaran yang tidak aspiratif itu mengingat sejarah masa laluh Kampung werabur pada zaman belanda sudah ditetapkan sebagai wilayah perkebunan karet dan sedangkan untuk pusat Pemerintahan ditaruh di Wondama,jadi tidak benar kalau Daerah tersebut mau di jadikan pusat Pemerintahan Kabupaten baru yang sedang di wacanakan saat ini ujar Septer Wekaburi.

XI. Kegiatan Investasi BP Tangguh


Dari gambaran Investasi di Teluk Bintuni, nampak sangat jelas, masyarakat adat secara otomatis telah kehilangan lahan dan sentra-sentra produksi untuk keberlangsungan hidup. Tanah dan Sumber Daya Alam Telah di kusai atas nama Negara dan dampak tersebut telah terlihat jelas di Masyarakat adat, namun yang menjadi pertanyaan jamur investasi diatas sangat menbingungkan karena hingga saat ini  belum di ketahui siapa penjualnya. Masyarakat adat Tidak’’lalu siapa”? 

Imigrasi
Dari gambaran sekilas Proyek LNG tangguh tentang dampak kehadiran BP di kabupaten Teluk Bintuni terlihat sudah sangat jelas dimana arus imigaran yang setiap saat datang ke Teluk Bintuni apabilah tidak di antisipasi mahka masyarakat adat di segi inimnya SDM akan semakin termajinalisasi akibat orang-orang yang hadir dengan sejumlah kapasitas mereka masing-masing.

Situasi Kemanan 
Situasi Kemanan masyarakat sipil di Kabupaten Teluk Bintuni akhir-akhir ini terlihat jelas aman namun di setiap sudut-sudut kota maupun dalam kota dan pintu masuk Bandara, Pelabuhan dan Perusahan-perusahan sangat nampak sejalas dengan adanya kehadiran militer yang setiap saat terus Menerus berdatangan bahkan di tempat-tempat kerameyan dengan gagahnya pihak keamanan mengendong senjatanya di hadapan rakyat.Dari situasi yang berkembang tersebut membuat masyarakat adat pasra dan merasa takut untuk menyampaikan kelu dan kesanya kepada orang yang benar atau kelompok yang benar bahkan lembaga-lembaga adat sendiri cenderung mendukun kebijakan Pemerintah,Investasi dan mengabaikan hak-hak rakyat walaupun ada hanya satu (1) atau dua (2) orang saja yang mau perduli tentang hak-hak Masyarakat adat termasuk keamanannya. 

Respon Sejati Rakyat
Dengan melihat kondisi yang cenderung tajam menyudutkan Masyarakat Sipil, masyarakat hanya pasra menerimah kondisi tersebut tampah adanya perlawana hal ini disebabkan konrtol dari kemanan yang begitu ketat menekan hak berdemokrasi bagi setiap manusia,Kelompok sehingga isu-isu tentang perlawanan hanya bisah di lakukan dengan cara diskusi kelompok yang di kembangkan di sudut-sudut jalan atau di hutan-hutan maupun di rumah-rumah mereka tampa adanya perlawana untuk mengkis segala ancaman yang datang sili berganti hal ini di sebabkan lemahnya SDM local untuk memproteksi ancaman dan bagaimana mencari solusi jalan keluar penyeleain masala-masalah mereka.dari berbagai kondisi Masyarakat adat pasrah dan menyerahkan diri mereka kepada system yang sengaja di ciptakan oleh Lembaga Pemerintah Maupun Perusahan. 

Analisis KondisiPengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Teluk Bintuni yang berlangsung sejak lama mulai dari Minyak,Gas,batu bara,hutan kayu maupun non kayu dan hasil SDA Pesisir hingga saat ini tidak memberikan manfaat yang layak bagi Masyarakat Adat.Masyarakat adat di jadikan sebagai obyek dan menjadi penontong menyaksikan perusahan-perusahan besar masuk dan mengambil hasil dan masyarakat adat sendiri tidak mengetahui kemanah perginya hasil-hasil milik Masyaraka adat.Dari pengelolaan SDA alam yang tidak adil sehingga turut menyebabkan kemiskinan tersebut terjadi di masyarakat dan kondisi ini terjadi terus menerus bahkan terjadi peningkatan hal ini dapat di lihat dari kondisi masyarakat yang tidak ada peningkatan kwalitas hidup baik perumahan, kesehatan, pendidkan bahkan ekonomi. Disisi pemerintah sendiri tidak terlihat focus terhadap kondisi masyarakat yang sangat memprihatingkan Pemerintah malah memberikan dukungan sebesarnya kepada infestasi dengan alasan PAD untuk pembagunan masyarakat adat namun kondisi tersebut jauh dari harapan masyarakat. kondisi tersebut membuat masyarakat adat berpijak pada aras dan posisi yang tidak menentuh. sisi kemanan masyarakat,militer dengan kekuatannya terus menekan rakyat kondisi ini membuat masyarakat memilih diam agar investasi-investasi besar tetap tenan menjalankan usahanya dengan baik walaupun ada janji-janji perusahaan kepada masyarakat adat namun janji-janji tersebut hanya sebatas janji yang hasilnya tidak di laksankan.Di sampin itu perusahaan besar yang bernama BP tangguh juga turut menarik parah pencari kerja untuk terus berdatangan ke Bintuni di susul dengan masuknya pekerja-pekerja sek bebas yang masuk secara gelap ke Kabupaten Teluk Bintuni sebagai wanita penghibur sehinga bisah di simpulkan bahwak kondisi ini akan sangat berdampak terhadap tingginya HIV dan masalah-masalah social lainnya termasuk kaum perempuan yang akan lebih dulu menerimah kosekwensi itu karena perempuan merupakan kelompok yang sangat rentang terhadap kondisi yang akan terjadi maupun yang akan terjadi.Lain hal ini dengan target LNG yang berencana memproduksi gas pada tahun 2009 telah menetapkan sonah-sonah terbatas yang tidak akan dilalui oleh Masyarakat adat maupun kapal-kapal penumpang hal ini juga akan sangat berdapak terhadap ekonomi terlebih masyarakat adat yang mengantungkan sepenuhnya hidup mereka terhadap potensi laut sejak turung-temurung akan menangis melihat asset penghidupan mereka yang tidak akan di kelolah selama produksi LNG berlangsung.Lai hal nya dengan area sona terbatas yang di kembangkan oleh LNG terkai kemanan lintas sector akan segera di tingkatkan dari data yang di milki terlihat TNI dan Polri mulai meningkatkan kemanan dengan mendirikan pos-pos militer di setiap titik-titik yang di anggap rawan untuk di sentuh.dari kondisi tersebut diatas membuat masyarakat adat saat ini sedang dalam ketakutan melihat kondisi tersebut namun di sector lain kondisi ini dipaksakan untuk tetap jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar