I. 7 (Tujuh) Suku Di Teluk Bintuni
- SUKU WAMESA, terdiri atas beberapa Keret (marga) a.l: KAWAB, IDORWAY, WEKABURY, MAYSEWI, FIMBAY, WANEY
- SUKU KURI, meliputi : URBON, REFIDESO, TATUTA, URBETE, PENETRUMA
- SUKU SEBYAR, a.l : BAUW, PATIRAN, NAWARISA, NOSEFA, TONOY, KAITAM, KOKOP, PRABUN
- IRARUTU, meliputi : WELSIN,WOKROFA,KURIMA
- SUKU SUOGH, a.l : IBA, MENCI, TIRI, TIBES, TEINUN, IRAI, YETU, IMERI, ONYOUW
- SUKU MOSKONA, a.l: ASMARUN, O ROCOMNA, OGONEY, IBORI, I NGGOUW, MERENEPAORTUA, MOSOKODA, JEHIDO
- SUKU SUMURI, a.l : SIMUNA, INANOSA, SIWANA, AGOFA, ATETA, KAMISOFA, SOWAI, WAYURI
II. Pandangan
Masyarakat Adat Dalam Mengelola Potensi sumber Daya Alam
Dalam sejarah
kehidupan masyarakat adat di sekitar Kabupaten Teluk Bintuni melihat hutan
sebagai tempat mencari nafka (sumber
ekonomi) namun hutan tersebut mulai rusak karena masuknya perusahan-perusahan kayu yang di
sewakan pemerintah
pusat maupun daerah berkolaborasi dengan pihak perusahan yang beroperasi secara
illegal merusak hutan masyarakat adat tanpa melihat dampak bagi anak cucu
nantinya. Contoh kasus yang
di temukan dalam penelitian ini adalah adanya informasi dari Ir. Y.E.Hematang Mantan MPH PT Yotefa
Sarana Timber tentang adanya sistem
penebangan hutan yang dilakukan pihak perusahan tanpa berkoordinasi
secara baik dengan masyarakat sehinga masyarakat mengkomplen bahwa tanah
tersebut bukan milik perusahan tetapi milik masyarakat adat, dengan melihat hal tersebut pihak perusahan sering
menggunakan oknum aparat seperti polisi terutama Brimob sehingga dalam melakukan
posisi tawar, masyarakat menerima pasrah menyerahkan hutan mereka kepada pihak
perusahan untuk di eksplorasi. Informasi serupa
di peroleh dari bapak Oto Manibui
Kepal suku wamesa di Teluk Bintuni, bahwa dengan masuk nya perusahan seperti PT
Hendrison,Yotefa Sarana Timber,Rimbah artamas dan Marindo Utama Jaya hanya
mengacaukan alam di Teluk Bintuni dan membuat komflik horizontal di masyarakat
adat.contoh kompensasi yang di berikan perusahan tidak mencukupi jumlah
komunitas yang ada di wilayah hutan masyarat hukum adat sehinga antara
masyarakat dan masyarakat sering terjadi bentrok. Adapun kekesalan
yang datang dari kepala kampung manimeri
atibo mengatakan sangat menyesal dengan tindakan dari PT Hendrison Iryana
yang dengan secara sewenang-wenang masuk mengelola hutan dan tampa berkordinasi
dengan aparat kampung pihak perusahan langsung melakukan aktifitas dengan
memanfaatkan jalur dalam kampung sebagai jalur yang digunakan utuk berlalu
lalang mengholing kayu ke loker yang di buka dekat lokasi pemukiman sehinga
pada saat siang hari atau aktifitas holing dimulai masyarakat selalu diresakan
dengan debu yang beterbangan dampak dari pencemaran polusi udara tersebut menyebabkan
banyak warga yang sering kesakitan dan penyakit yang diderita oleh mereka
antara lain Flu,sesak nafas,paru-paru dan muntaber menurut kepala
kampung perna memerintahkan warga untuk memalang jalur holing tersebut namun
pihak perusahan mendatangkan aparat Brimob
sehinga masyarakat takut dan menbuka palang tersebut.Menurutnya pihak
pemerintah kampung perna menyurat kepada pihak perusahan untuk memberikan ganti
kerugian dalam hal biaya perobatan masayarakat yang merupakan korban dari
aktifitas perusahan namun pihak perusahan tidak menangapi tuntutan tersebut.
III. Cagar Alam
Cagar
alam teluk bintuni saat ini memiliki luas 124.850 hektar. Pada kawasan ini
hidup beraneka satwa dan menjadi habitat kurang lebih 160 jenis-jenis burung,
lebih dari 17 marsupial dan kurang lebih 39 jenis mamalia. Kawasan cagar alam
ini telah mengalami beberapa kali perubahan luasan. Pada saat pertama diusulkan
oleh WWF pada tahun 1980-an, luas areal cagar alam ini kurang lebih 450.000
hektar.
Keberadaan
hutan mangrove di Teluk Bintuni kemudian oleh Departemen Pertanian Republik
Indonesia pada tahun 1982, merespon usulan dari WWF tetapi dengan mengusulkan
areal yang lebih kecil yaitu seluas 357.300 ha. Oleh Departemen Pertanian,
kelompok hutan mangrove Sungai Aramasa, sungai weperar, Sungai Wagura dan
sungai Kaitero diusulkan menjadi bagian yang ditetapkan sebagai kawasan cagar
alam. Pada tanggal 10 November 1982, cagar alam teluk bintuni secara definitif
ditunjuk sebagai daerah cagar alam melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
N0. 182/Kpts/UM/11/1982, yang meliputi areal seluas 300.000 ha.
Luasan
tersebut ternyata lebih kecil dari pada luasan yang diusulkan sebelumnya
(357.300 ha). Pengurangan areal ini disebabkan karena ada areal seluas 57.300
ha yang dialih-fungsikan menjadi hutan produksi berdasarkan Forest Agreement
No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara Menteri Pertanian
Republik Indonesia dan PT. Bintuni Utama Murni Wood Industri (PT BUMWI). Ini
merupakan realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 19
Januari 1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan hak pengusahaan
Hutan di Wilayah Provinsi Papua.
Pada
tahun 1991, AWB/PHKA melakukan suatu studi untuk merevisi kembali luasan Cagar
Alam yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
182/Kpts/UM/11/1982 dan usulan WWF/IUCN/PHPA tahun 1983. Latar belakang usulan
revisi ini adalah karena terjadi tumpang tindih peruntukan kawasan antara CATB
dengan areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekitar kawasan Teluk Bintuni
seperti PT Henrison Iriana, PT BUMWI dan PT Yotefa Sarana Timber.
Beberapa
alasan penyebab revisi yang diusulkan oleh AWB/PHKA tahun 1991 adalah Areal
konsesi HPH PT Henrison Iriana seluas ± 54.000 ha yang merupakan habitat
mangrove di masukan sebagai kawasan Cagar Alam dengan pertimbangan HPH ini
tidak membutuhkan mangrove sebagai bahan baku industrinya.
- Areal pegunungan yang curam antara sungai Yakati dan
Hutan mangrove dan merupakan hutan produksi di masukan sebagai areal Cagar Alam
karena keunikannya dan sangat rentan bila dieksploitasi.
- Rencana pencadangan areal HPH PT Bina Lestari Tarakan
Jaya yang merupakan hutan mangrove dan tumpang tindih dengan Cagar Alam harus
dikeluarkan dan dimasukan sebagai areal Cagar Alam.
Berdasarkan
hal diatas, AWB/PHKA mengusulkan areal seluas ± 260.000 ha sebagai kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni, termasuk daerah-daerah perairan teluk
seluas ± 60.000 ha dengan koordinat 133º 133 - 134º 02’ BT dan 2º 02’ - 2º 30’
LS. Pada
tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di kawasan cagar alam dilakukan
oleh PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT
Henrison Iriana dengan panjang batas yang terealisasi sepanjang 77.247.76
meter. Tata batas tahap kedua dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan (BIPHUT) manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar
kawasan dan batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi
172.846,20 meter yang kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999
tentang penunjukan Kawasan Hutan Provinsi dan perairan Papua. Berdasarkan
pelaksanaan tata batas ini, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni menjadi
124,850 Ha. Luasan mangrove yang ada dikawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua, masih utuh dan kompak
dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi. Kawasan ini merupakan areal penting
untuk menyangga kegiatan perikanan komersil dan industri udang yang ada;
Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi
berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), (petocz, 1983). Kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di Wilayah kerja Pemerintah Daerah
Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Kabupaten Teluk
Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran di provinsi Papua yang
baru disahkan pada tahun 2002. di tingkat Distrik, kawasan Cagar Alam ini
berada di dalam wilayah administrative Distrik Bintuni, Distrik Idoor dan
Distrik Kuri.
Berdasarkan
pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam,
CATB berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan resort KSDA Babo, Seksi
Konservasi Wilayah I manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua
II yang berkedudukan di Sorong, Irjabar.
Namun
perkembangan yang terjadi selama ini bahwa daerah yang ditetapkan sebagai
daerah konserfasi oleh pemerinta KSDA akan di alifungsikan demi kepentingan
infestasi dimana distrik Idoor yang merupakan daerah Cagar Alam dimana salah
satu pulaunya yang dinamakan pulau modan
dengan kondisi georafisnya pulau tersebut terlahir dari pulau yang memang
berbatu dengan luasan diperkirakan sekitar 1000 ha.Letak pulau tersebut berada
di daerah muara sungai Idoor yang direncanakan Oleh BP indonesia akan membeli
pulau tersebut untuk tujuan pembagunan sarana prasana.sehinga pihak BP sendiri
merencanakan akan mengambil batu karang dari dipulau tersebut.dan BP
Merencanakan akan membeli pulau tersebut
ternyata rencana BP untuk membeli pulau modan tidak terlepas dari
komflik kepemilikan dimana persowlan inilah saat ini menjadi menguat di tingkat
lokal dimana pihak BP telah menbangun konpirasi dengan salah satu marga (Fimbay
yang memang bukan pemilik hak ulayat di pulau tersebut sehinga dari status
kepemilikan tersebut ada marga dari dua distrik yaitu Distrik Idoor,Distrik
Kuri dimana kedua marga yaitu marga Urbun,wanei dan beperandi tidak setuju
denaga hak mereka yang telah dijual oleh marga Fimbay yang berdomisili di
distrik Babo Kapada pihak BP sehinga sampai saat ini masyarakat dari kedua suku
besar antara suku kuri dan wamesa terkesan tidak lagi hidup rukun.hal yang
sangat memprihatinlan pihak pemerintah dalam hal ini dinas kehutan Kabupaten
Teluk Bintuni sendiri tidak perduli dengan persowalan ini padahal dinas
Kehutanan telah mengetahui daerah tersebut masuk dalam daerah cagar alam yang
harus dilindungi di mana pihak kehutan dan pemerintah harus serius untuk
melihat hal ini.
IV. Gender
Kekerasan terhadap perempuan
dan anak di wilayah Papua sudah lama berlangsung dan bukan menjadi rahasia
lagi. Kekerasan bisa terjadi di hadapan umum maupun tersembunyi rumah-rumah
nyaman milik masyarakat berbagai kelas sosial di Papua, tak terkecuali di wilayah
Teluk Bintuni. Ironisnya mayoritas masyarakat belum rnemahamimya sebagai bentuk
dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Data akurat tentang kekerasan
terhadap perempuan di Teluk Bintuni memang belum tersedia dengan baik, karena
penelitian yang khusus dan komprehensif tentang ini belum pernah dilaksanakan.
Namun setiap hari kita disuguhi berita dan kenyataan betapa seringnya terjadi
perselingkuhan, perkosaan, penganiayaan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap
perempuan pasangan hidup resmi, pacar, maupun perempuan pekerja sex. Peristiwa
kekerasan fisik itu amatlah sering terjadi, bahkan di jalan-jalan, dan bisa
ditonton oleh masyarakat umum yang acap kali memandangnya sebagai suatu hal
yang wajar dan biasa.
Sesungguhnya, dalam
sistem budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik,
seperti pada beberapa suku yang menggambarkan perempuan dalam simbol-simbol
keagungan seperti misalnya simbol pohon sagu yang artinya sumber kehidupan.
Namun hal ini bukan berarti sama dalam praktek kehidupan sehari-hari dimana
perempuan justru jadi sasaran empuk kekejaman. Bila dilihat dari kacamata
budaya, yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan mungkin saja
sesuatu yang justru dilanggengkan atas nama perlindungan masyarakat terhadap
perempuan. Nilai-nilai kekerasan itu terinternalisasi dalam berbagai aturan,
norma dan tradisi yang diyakini dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum
perempuan sendiri, sebagai pendukung kebudayaan, merasakan bahwa ini adalah hal
yang biasa, sudah takdir dan bahkan merasa apa yang dialaminya memang sudah
semestinya diterima sebagai seorang perempuan.
Hampir di
seluruh wilayah Papua, termasuk Teluk Bintuni, perempuan adalah tulang punggung
keluarga. Ia bekerja di kebun mulai dari menanam sampai panen, menokok sagu
mulai dari menebang sampai memisahkan tepung sagu dari serabutnya, dan membawa
pulang sendiri ke rumah yang jaraknya lebih dari 7 km dari kebun. Namun,
kontribusi ekonomi itu tidak serta merta mengangkat posisi tawar perempuan
sehingga terhindar dari kekerasan. Bahkan akibat tekanan ekonomi keluarga,
seorang anak perempuan bisa saja dikawinkan dalam usia di bawah umur seiring
dengan munculnya gejala mas kawin perempuan papua yang semakin membesar. Tak
jarang seorang suami menyatakan bahwa kekerasan terhadap istrinya adalah hal
yang sah, karena toh ia telah membayar mahal kepada keluarga istri ketika
hendak mengawininya. Mas kawin yang agung itu, serta merta berubah menjadi
legitimasi untuk melakukan kekerasan keji dalam rumah tangga, sepanjang kehidupan perkawinan. Kekerasan terhadap perempuan sama sekali bukanlah hal
yang wajar, boleh dibiarkan, dan tidak bisa dihentikan. Kekerasan terhadap
perempuan adalah sebuah ekspresi dari kekeliruan struktur sosial dan sistem
politik memandang perempuan. Di samping itu, kekerasan ini tidak bisa lagi
digolongkan sebagai masalah privat atau domestik (rumah tangga), melainkan
sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak azasi perempuan. Hal ini diperkuat
dengan terbitnya UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Sejak bulan awal Maret hingga pertengahan April 2007 Gema
Puan telah melakukan penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya
dalam rumah tangga. Laporan ini adalah hasil dari penelitian tersebut.
V. Konflik Tapal Batas
VI. Illegal Logging dan Penambangan Liar
VII.Pertambangan Minyak Dan Perkebunan Kelapa Sawit
Bumi
Teluk Bintuni selain memiliki limpahan minyak dan gas alam cair yang segera
dieksploitasi, juga terhampar luasan hutan yang luas. Potensi
ini bisa dilihat jelas dari ceceran lahan-lahan minyak di atas
tanah di kampung Sumuri Distrik Sumuri. Masyarakat sekitar sejak lama telah memanfaatkan hutan adat mereka sebagai tempat berburu dan meramu. Para investor dalam maupun luar negeri telah
lama melirik potensi Minyak dan rencana pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit, terutama di daerah Sumuri yang
kandungan Minyaknya menggiurkan untuk dieksploitasi karena memiliki nilai jual yang tinggi. Pada
tahun 2008 Lukuk Sumiarso Dirjen Migas Depatemen Sumberdaya
Energi dan Mineral (ESDM) mengumumkan Kontraktor Kontrak kerja Sama (KKKS) PT Ginting Oil & Gas Ltd yang memenangkan
blok Kasuri (Blok Sumuri Untuk 5 sumur Minyak) dengan
memberikan bonus tandatangan sebesar 19.000.000 kepada Lukuk Sumiarso .Berdasarkan informasi
pemenang tender yang diterima PT Ginting Oil & Gas Ltd,langsung melakukan
expansi ke wilayah Teluk Bintuni dengan memulai aktifitas Operasi Sesmick yang
dilakukan oleh PT Quis Pada Tahun 2010 untuk mengeksplorasi Minyak Distrik Sumuri. Menejer direktur PT. Ginting Oil Minyak & Gas Ltd Bambang yang bertugas dilokasi proyek saat ini perna
menyatakan telah mengantongi ijin dari Pemerintah Pusat
berdasarkan informasi pemenang Tender untuk eksplorasi dan mencari joint investement. Dan untuk Recana explorasi Minyak oleh PT.Ginting Oil saat ini lagi
gencar-gencarnya mengembangkan proyek tersebut.Kondisi ini membuat Pada
tanggal 29 Maret 2012 Pihak perusahan bersama
pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dalam
hal ini Kepala Distrik Sumuri telah mengundang sejumlah tokoh adat,
tokoh pemuda, dan pemilik hak ulayat untuk melakukan hearing di Balai Kampung terkait rencana explorasi dan Kepemilikan lahan.
Master
plan perusahaan tersebut menetapkan pada akhir Desember 2012 sudah harus tuntas kegiatan explorasi yang dilakukan diarel
pertambangan
yang dimulai dari kawasan Distrik Sumuri sampai dengan Distik Arobah dan
Distrik Kokas Kabupaten Fak-Fak yang berbatasan dengan Bintuni.Menurut masyarakat, perusahaan
tersebut akan meminta mereka ikut serta dalam AMDAL.
Masyarakat
adat menghimbau pemda, agar dilakukan musyawarah atau gelar tikar adat yang
melibatkan kelompok masyarakat adat, pemuda, tokoh agama, perempuan dan LSM
untuk bersama-sama membahas pengaturan kontrak terkait dengan hak-hak
masyarakat, baik yang berkaitan dengan hak ulayat maupun jaminan tiadanya
kerusakan lingkungan maupun kasus pelanggaran HAM pada masa mendatang. Tetapi
di sisi lain ada beberapa anggota masyarakat (para pimpinan suku) yang menerima
hadirnya PT.Ginting Oil Tbk dan sangat menunggu “uang buka pintu”
dari perusahaan tersebut. Di sisi masyarakat mereka mengaku tidak lagi mampu
menolak kehadiran perusahaan tambang yang datang di kampungnya, karena jika
mereka bersikeras menolak mereka akan berhadapan dengan pimpinan-pimpinan suku
mereka. Selain mereka kawatir akan terjadi kekerasan oleh TNI/Polri yang
beberapa personilnya memiliki saham di dalam perusahaan. Sehinga pada saat ini
mereka hanya bisa pasrah dan menerima keadaan tersebut.
Selain Pertambangan,ada juga Perkebunan
Kelapa sawit yang sudah beroperasi sejak tahun 1996 oleh PT.Farita Maju Utama,Pada
Tahun 2008 PT.Farita Menjual sahamnya kepada PT.Karya Teknik dan Pada Tahun
2009 PT karya teknik menjual sahamnya kepada PT.Expedisi dengan memanfaatkan
lahan Perkebunan seluas 3300 hektar yang dibeli dari masyarakat adat seharga Rp.100.000.000,. Informasi lain juga yang diperoleh dari
salah seorang tokoh Gereja yang berada di Dsitrik Sumuri,mengatakan bahwa tanah
tersebut sudah dilepas dengan perjanjian yang ditandatangani antara pihak
pertama den pihak kedua dimana pada butir terahir perjanjiannya mengatakan
bahwa tanah tersebut tidak akan dituntut sampai anak cucu dan apa bilah
dikemudia hari ada muncul gugatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak
pertama.hal inilah yang membuat mereka tidak bersuara mengigat seketika mereka
menuntut perusahan selalu mengunakan aparat bersenjata untuk menindas rakyat.
Analisis
Kampung
Sumuri terletak kurang lebih 40 km sebelah Selatan pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni. Kampung yang lokasinya di
tengah areal Lokasi perusahan-perusahan raksasa pertambangan dan
terisolir ini dihuni oleh Penduduk yang berjumlah 6.224 jiwa.Untuk mencapai Kampung tofoi, tidak
bisa menggunakan kendaraan darat, selain transportasi laut dengan
ongkos sewa longbout Rp 3.000.000,-dari
pusat kota Bintuni.Wilayah Tofoi yang terpencil membuat penduduknya jarang berpergian keluar
kampung.
Ini mengakibatkan arus informasi sangat lambat, baik dari luar kampung
maupun sebaliknya. Sebagian
wilayah yang hendak dieksplorasi adalah bekas area HPH PT. Jayanti Grup. Selain mengusahakan hutan setempat,PT Jayanti Grup otomatis telah melakukan land clearing, sehingga memudahkan
perusahaan tambang Minyak dan Perkebunan Kelapa Sawit yang
akan masuk kemudian. Modus operandi ini sudah biasa terjadi, setelah selesai
perusahaan pembalak hutan beroperasi biasanya akan diikuti dengan hadirnya
perusahaan tambang atau perkebunan. Misalnya perkebunan sawit milik PT. Varita
Maju Utama di daerah Tofoi yang kini sudah berpindah sahan
kepada PT Expedisi
sebelumnya adalah areal dimana PT. Agoda Rimba Irian melakukan pembalakan
hutan. Tentu saja ini sudah direncanakan sejak awal, karena keduanya adalah
anak perusahaan Djayanti Group.
Tambang
Minyak akan membabat hutan, lalu mengoyak dan mengeruk bumi Sumuri. Proses tambang Minyak Bumi dipastikan akan memicu polusi yang parah terhadap laju kerusakan hutan. Setelah
selesai dikeruk, tambang akan meninggalkan sisa-sis limba dan kekeringan yang sulit dipulihkan. Masyarakat Sumuri saat ini tengah bertanya-tanya, akankah nasib mereka seperti
rakyat sekitar Freeport? Kehadiran perusahaan pengeruk sumber daya alam,
terutama tambang, potensial memicu kekerasan militer di Papua. Jika benar
perusahaan ini memiliki kaitan dengan aparat militer atau para eks perwira
militer atau institusi militer yang berbisnis melalui para purnawirawan, maka
dapat dimaklumi kekawatiran penduduk Sumuri akan
keselamatan hidup mereka. Dari pengalaman yang terjadi, misalnya di daerah Furwata masyarakat suku Irarutu diintimidasi oleh aparat di sekitar PT.
Djayanti, sebuah perusahaan raksasa milik Brimob. Kasus penembakan warga
Meriedi diduga kuat juga terkait dengan perusahaan ini (meski yang muncul di
permukaan adalah issu pembubaran aliran sesat). Akhirnya Suku Irarutu harus rela kehilangan tanah 90,000 ha untuk PIR kelapa sawit yang rencana di kembangkan lagi.
Potensi
konflik horisontal diperkirakan akan meningkat, ketika para kepala suku Sumuri merestui kehadiran tambang sementara masyarakat bersikap
resisten. Kecenderungan yang ada, perusahaan langsung bernegosiasi dengan para kepala
suku. Negosiasi ini dilakukan oleh pihak ketiga, seperti yang dilakukan para
anak adat di yang bermain ditingkat Jakarta dengan mendirikan sebuah yayasan untuk meyakinkan para
pemilik modal menamkan sahamnya di PT Ginting Oil & Gas (Pimpinannya Max) memfasilitasi
PT. Ginting Oil dengan masyarakat. Yayasan ini
memang didirikan untuk misi membuka pintu investasi, dengan berperan sebagai
negosiator perusahaan saat berhadapan dengan masyarakat, kepala suku, atau
kepala marga.
Pada
saatnya, keberlanjutan persediaan pangan juga akan terancam. Dusun2 sagu
dipastikan akan musnah, pun lahan berburu dan berkebun. Demikian juga
persediaan air akan berkurang, karena hutan primer di Sumuri adalah penangkar air yang sangat berguna bagi kampung-kampung
di sekelilingnya.
Suatu
hal yang masgul bila ada yang menyatakan rencana eksplotasi tambang Minyak tersebut adalah demi kesejahteraan rakyat. Karena sebuah
bencana sedang menanti masyarakat di sekitar tambang. Uang ganti rugi, serta
janji kerja buruh di pertambangan sungguh tak sebanding dengan kerusakan dan
penderitaan yang bakal terjadi.
VIII. Sektor
Kehutanan
Masyarakat asli Papua (Masyarakat Adat) tidak mengakui
adanya Hutan Negara (Kawasan Hutan), mereka beranggapan seluruh tanah dan hutan
di wilayah Papua adalah hak adat mereka. Sehingga kejahatan terhadap lingkungan merupakan
kejahatan kemanusiaan yang berdimensi pelanggaran HAM berat. Maka kejahatan
terhadap lingkungan harus di hapus.! Sebagian besar masyarakat Papua hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan
dengan sistem meramu. Berdasarkan hukum
adat Papua, hutan adalah “ibu kandung” yang memelihara dan memberi makan
bagi mereka. Namun kehidupan mereka
umumnya tergolong miskin dengan berbagai keterbatasan di bidang pendidikan,
kesehatan, dan isolasi daerah. Selain
faktor sosial budaya masyarakat, beberapa pihak menilai bahwa kondisi tersebut
diakibatkan oleh rendahnya akses masyarakat adat untuk terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan dalam wilayah hukum
adatnya.
Terkait
dengan menjamurnya infestasi di Teluk Bintuni menyebabkan tanah di Teluk
Bintuni diperlakukan sebagai Tanah kosong tanah tampa kepemilikan.informasi
lain yang kami catat sampai dengan Tahun 2012 ini ada sekitar 8 HPH yang
beroperasi di Teluk Bintuni dimana HPH-HPH tersebut tidak memiliki dokumen
Amdal yang jelas sehingga sulit dikontrol.dampak lain yang juga terekan dalam
proses pemantauan ternya HPH merupakan instrumen terampu melahirkan krisis di
Teluk Bintuni,Baik secara
Fisik/kimia,Sosial yaitu,sosial ekonomi,sosial budaya dan dampak ekologis,
dimana sumber-sumber penghidupan rakyat mulai berkurang dan hewan buruan
semakin jauh,bahkan diprediksikan dari total luasan Teluk Bintuni 18,637 KM2 5
s/d 10 Tahun kedepan hutan di Teluk Bintuni akan terancam musna disebabkan
penebangan yang dilakukan oleh HPH dan HTI dengan memanfaatkan Lahan seluas
1562.000 ha yang tidak terkontrol.dari
sisi sosial juga terlihat kehadiran HPH-HPH ini turut menciptakan ketergantungan
bahkan komflik diantara masyarakat adat dan non Papua,militer serta Tanah yang
dibeli dengan harga murah.Dari diskusi yang dibangun terdengar bahwa ada
sebagian anak usia dewasa diareal perusahan di Teluk Bintuni yang tidak bisa
menbaca dan menulis hal itu disebabkan karena mereka memili menjadi buru pada
perusahan-perusahan kayu tersebut. Masuknya HPH di Teluk Bintuni Tidak
memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan Masyarakat sekitar hutan,hal
ini terlihat jelas dari dampak lingkungan yang terjadi sepanjang sejara
pengelolaan hutan di Teluk Bintuni Ironisnya terjadi monopoli pasar disekitar
areal perusahan,dimana perusahan mengabaikan komitmen sosial budaya masyarakat
sekitar hutan modusnya hutan ditebang dan pergi begitu saja dengan meningalakn
dapampak yang sangat buruk.
HPH-HPH
ini juga turut memanipulasi instrumen Hukum yang ada,oleh sebab itu mestinya
pemerintah Pusat dan Provinsi tidak memaksakan kehendak untuk memberikan hak
pengelolaan hutan kepada perusahan-perusahan HPH,sawit yang pada ahirnya tidak
memberikan manfaat bagi daerah pengasil.Menjadi pertanyaan juga bagai mana
dengan SK 2 Gubernur Papua dan Papua Barat semestinya itu yang berlu untuk
dijalankan agar HPH-HPH ini tidak bekerja semaunya mereka dengan memanfaatkan
minimnya informasi dari masyarakat tentang apa yang semestinya mereka dapat
dari manfaat pengelolaan hutan tersebut.dan saran saya kalau hutan di
Jawa,Sumatra dan kalimantan sudah hancur maka papua harus bisa diselamatkan,
bagi saya masyarakat adat memiliki hak VETO untuk mengatakan ya atau tidak demi
anak cucu kita di kemudian hari.
PT Yotefa Sarana Timber pada tanggal 13,April Tahun
2008 Telah mengalokasikan Dana sebesar 3 Milyar yang di peruntukan untuk
pembayaran 196 karyawan.Sumber dana yang di peruntukan oleh PT Yotefa untuk
membayar karyawan dana tersebut di pinjam dari pemerintah Kab.Teluk Bintuni itu
artinya Manajemen Perusahan akan meningkatkan lahan produksi dan hal ini akan
turut mempengaruhi laju kerusakan hutan di kawasan manimeri dampaknya akan
terjadi pergeseran lahan-lahan sentra produksi masyarakat adat mulai dari
berburu hingga kekeringan masalah air bersih.
IX. Pertambangan
Batu Bara
Bumi
Teluk Bintuni selain memiliki limpahan minyak dan gas alam cair yang segera
dieksploitasi, juga terkandung potensi Batubara yang sangat besar. Potensi ini
bisa dilihat jelas dari ceceran batubara di atas tanah di kampung Warganusa
Distrik Babo, dan Kampung Horna Distrik Bintuni. Masyarakat sekitar sejak lama
telah memanfaatkannya untuk pengusir nyamuk saat pergi ke hutan atau melaut.
Para
investor dalam maupun luar negeri telah lama melirik potensi batubara ini,
terutama di daerah Horna yang kandungan batubaranya menggiurkan untuk
dieksploitasi karena umurnya sudah tergolong tua. Pada tahun 2003 PT. Papua
Bersama Gemilang (PBG) Jakarta bersama investor asal Hungaria telah mencoba
masuk untuk mengeksplorasi batubara di kampung Horna. Perusahaan ini di tingkat
lokal berkongsi dengan adik kandung bupati care taker yang waktu itu dijabat
Decky Kawab. Presiden direktur PT. PBG Karta Wijaya Gunawan waktu itu menyatakan
telah mengantongi ijin dari Pemda Teluk Bintuni untuk eksplorasi dan mencari
joint investement. Di samping batubara, PT. PBG rencananya juga akan
memanfaatkan potensi perikanan bekerjasama dengan investor Belanda. Selain itu,
perusahaan tersebut juga ditawari oleh Pemda memanfaatkan potensi penebangan
kayu di Bintuni, bekerjasama dengan investor Cina. PBG menyatakan
akan membangun industri hasil hutan, yang produksinya akan dijual ke pasar
dalam negeri maupun export (Miningindo.com, 16 Juni 2003).
Namun pada
bulan Juli 2006, mendadak muncul nama PT. Asoka Abadi (AA), sebuah perusahaan
yang berkantor di Jakarta. Perusahaan yang dipimpin oleh Letjen TNI (Purn) Marinir Soeharto ini telah menurunkan timnya untuk melakukan eksplorasi
tambang batu bara di kampung Horna, setelah melihat potensi batubara yang
dipamerkan Dinas Pertambangan Kabupaten Teluk Bintuni di sebuah hotel di
Jakarta. PT. AA meminta jaminan dan dukungan sepenuhnya dari Pemkab Teluk
Bintuni sebelum melanjutkan kegiatan ke tahap eksploitasi. Pemkab mengatakan
seluruh jajaran pemerintah dan masyarakat setempat menyambut baik investor yang
ingin menanamkan modalnya mengelola potensi SDA hingga ke daerah pedalaman
Teluk Bintuni (Antara, 22 Juli 2006).
Lembaga
Bin Madag Hom (sebuah organisasi pemuda di Teluk Bintuni) menyatakan pada bulan
November 2006 ini sebuah perusahaan lain bernama PT. Timah Tbk. telah
mengantungi ijin dari pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan eksplorasi
batu bara di kampung Horna. Kabarnya sejumlah petinggi TNI dan Polri
mengikutsertakan sahamnya dalam upaya pengerukan sumber daya alam di Teluk
Bintuni ini. PT. Timah Tbk berencana melakukan eksplorasi pada akhir bulan
Januari 2007, tinggal menunggu persetujuan dari Dewan Adat Papua (DAP) wilayah
III Kepala Burung Papua dan Pemda Kabupaten Teluk Bintuni.
Rencana
explorasi ditetapkan seluas 30 ribu ha untuk lokasi tambang, sedangkan lapangan
tambang sebesar 60 ribu ha. Pada tanggal 14 Nopember 2006 pemerintah pusat
dalam hal ini Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia telah
mengundang sejumlah tokoh adat, tokoh pemuda, dan pemilik hak ulayat untuk
melakukan hearing di Jakarta terkait rencana explorasi.
Master
plan perusahaan tersebut menetapkan pada akhir Januari 2007 akan melakukan
kegiatan explorasi dengan membuka lahan untuk tahap pertama sebesar 2.500
hektar, yang dimulai dari kawasan Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari yang
berbatasan Bintuni. Menurut masyarakat, perusahaan tersebut akan meminta mereka
ikut serta dalam AMDAL. Masyarakat
adat menghimbau pemda, agar dilakukan musyawarah atau gelar tikar adat yang
melibatkan kelompok masyarakat adat, pemuda, tokoh agama, perempuan dan LSM
untuk bersama-sama membahas pengaturan kontrak terkait dengan hak-hak
masyarakat, baik yang berkaitan dengan hak ulayat maupun jaminan tiadanya
kerusakan lingkungan maupun kasus pelanggaran HAM pada masa mendatang. Tetapi
di sisi lain ada beberapa anggota masyarakat (para pimpinan suku) yang menerima
hadirnya PT. Timah Tbk dan sangat menunggu “uang buka pintu” dari perusahaan
tersebut. Di sisi masyarakat mereka mengaku tidak lagi mampu menolak kehadiran
perusahaan tambang yang datang di kampungnya, karena jika mereka bersikeras
menolak mereka akan berhadapan dengan pimpinan-pimpinan suku mereka. Selain
mereka kawatir akan terjadi kekerasan oleh TNI/Polri yang beberapa personilnya
memiliki saham di dalam perusahaan. Sehingga pada saat ini mereka hanya bisa
pasrah dan menerima keadaan tersebut.
Analisis
Kampung
Horna terletak kurang lebih 40 km sebelah utara pusat kota Kabupaten Teluk
Bintuni. Kampung yang lokasinya di tengah hutan dan terisolir ini dihuni oleh
suku Sough yang berjumlah 274 jiwa. Untuk mencapai Horna, tidak bisa
menggunakan kendaraan darat biasa, selain mobil jenis hardtop dengan ongkos
sewa Rp 3.000.000 dari pusat kota Bintuni. Hardtop ini hanya bisa sampai
kampung Tembuni, setelah itu orang harus berjalan kaki selama 1 hari sebelum
tiba di Horna. Jika berangkat dari Manokwari, orang harus menggunakan pesawat
Cesna yang disewa secara khusus. Wilayah Horna yang terpencil membuat
penduduknya jarang berpergian keluar kampung. Ini mengakibatkan arus informasi
sangat lambat, baik dari luar kampung maupun sebaliknya.
Sebagian
wilayah yang hendak dieksplorasi adalah bekas area HPH PT. Yotefa Sarana
Timber. Selain mengusahakan hutan setempat, PT. Yotefa otomatis telah melakukan
land clearing, sehingga memudahkan perusahaan tambang batubara yang akan masuk
kemudian. Modus operandi ini sudah biasa terjadi, setelah selesai perusahaan
pembalak hutan beroperasi biasanya akan diikuti dengan hadirnya perusahaan
tambang atau perkebunan. Misalnya perkebunan sawit milik PT. Varita Majutama di
daerah Babo sebelumnya adalah areal dimana PT. Agoda Rimba Irian melakukan
pembalakan hutan. Tentu saja ini sudah direncanakan sejak awal, karena keduanya
adalah anak perusahaan Djayanti Group.
Tambang
batubara akan membabat hutan, lalu mengoyak dan mengeruk bumi Horna. Proses
tambang batubara dipastikan akan memicu polusi yang parah. Setelah selesai
dikeruk, tambang akan meninggalkan lubang-lubang besar menganga dan kekeringan
yang sulit dipulihkan. Masyarakat Horna saat ini tengah bertanya-tanya, akankah
nasib mereka seperti rakyat sekitar Freeport? Kehadiran perusahaan pengeruk
sumber daya alam, terutama tambang, potensial memicu kekerasan militer di
Papua. Jika benar perusahaan ini memiliki kaitan dengan aparat militer atau
para eks perwira militer atau institusi militer yang berbisnis melalui para
purnawirawan, maka dapat dimaklumi kekawatiran penduduk Horna akan keselamatan
hidup mereka. Dari pengalaman yang terjadi, misalnya di daerah Babo masyarakat
suku Simuri diintimidasi oleh aparat di sekitar PT. Djayanti, sebuah perusahaan
raksasa milik Brimob. Kasus penembakan warga Meriedi diduga kuat juga terkait
dengan perusahaan ini (meski yang muncul di permukaan adalah issu pembubaran
aliran sesat). Akhirnya Suku Simuri harus rela kehilangan tanah 90,000 ha untuk
PIR kelapa sawit.
Potensi
konflik horisontal diperkirakan akan meningkat, ketika para kepala suku Sough
merestui kehadiran tambang sementara masyarakat bersikap resisten.
Kecenderungan yang ada, perusahaan langsung bernegosiasi dengan para kepala
suku. Negosiasi ini dilakukan oleh pihak ketiga, seperti yang dilakukan oleh
Forum Solidaritas Pengembangan Masyarakat, wilayah IJB (pimpinan La Hada Sp.)
yang memfasilitasi PT. Asoka Abadi dengan masyarakat. Forum ini memang
didirikan untuk misi membuka pintu investasi, dengan berperan sebagai
negosiator perusahaan saat berhadapan dengan masyarakat, kepala suku, atau
kepala marga.
Pada
saatnya, keberlanjutan persediaan pangan juga akan terancam. Dusun2 sagu
dipastikan akan musnah, pun lahan berburu dan berkebun. Demikian juga
persediaan air akan berkurang, karena hutan primer di Horna adalah penangkar
air yang sangat berguna bagi kampung-kampung di sekelilingnya.
Suatu
hal yang masgul bila ada yang menyatakan rencana eksplotasi tambang batubara
tersebut adalah demi kesejahteraan rakyat. Karena sebuah bencana sedang menanti
masyarakat di sekitar tambang. Uang ganti rugi, serta janji kerja buruh di
pertambangan sungguh tak sebanding dengan kerusakan dan penderitaan yang bakal
terjadi.
Dari
berbagai hal yang terjadi di Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2007-2008.
Pemerintah dengan legitimasihnya melalui Pemerintah Kabupaten Teluk
Bintuni.Dengan adanya sejumlah ijin yang di keluarkan oleh Pemda Teluk Bintuni
terkait ijin explorasi pertambangan batu bara di horna Pemda telah mengeluarkan
ijin dari 30.000 He yang di tentukan untuk tahap pertama di tahun 2008 pemda
telah menegeluarkan ijin seluas 7500 Ha yang di peruntukan oleh PT Beringin
Jaya Yang berkantor pusat didok lima Propinsi Papua.
Tujuan dari pada pembangunan nasional di
Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang mandiri, adil dan sejahtera masih
sangat jauh dari harapan masyarakat Teluk Bintuni di Tanah Papua. Ketimpangan
pembangunan di daerah tersebut masih terasa di setiap sektor-sektor pembangunan
termasuk didalamnya kesetaraan gender dan pemberdayaan. Kondisi tersebut
menyebabkan sebagian kecil orang semakin
sejahtera, kuat dan memiliki akses luas terhadap eksistensi sumberdaya dalam sharring
potensi dan kebijakan yang berpengaruh pada mayoritas masyarakat
menjadi tidak berdaya.
Wacana
Pemekaran Daerah Kabupaten Wamesa Tengah Tidak
Menguntungkan Rakyat
Posisi Kampung Werabur secara administrasi
merupakan wilayah Pemerintah Distrik
Nikiwar Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat dan terletak di ketingian
700 meter diatas permukaan air laut,posisi Kampung Werabur juga memiliki hutan
yang menghampar luas membuat panorama sekitarnya terlihat indah mempesona.
Dari sisi soial Budaya Kampung Werabur dihuni oleh
empat marga besar yaitu,Wekaburi,Wetebosy,Kandami dan Torembi dimana secara
sosial Budaya masih terpeta kuat di antara masyarakat adat Werabur yang
merupakan rumpun dari Suku Wamesa di Teluk Wondama dan Teluk Bintuni.
Selain Luas wilayah Kampung Werabur yang strategis
ini membuat elit-elit lokal berupaya untuk membentuk Daerah Pemekaran baru
dengan dalil memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah demi mewujudkan
masyarakat Wamesa tenga yang sejatra sama dengan saudara-saudar lain di
Papua.Dan untuk posisi ibu kota kabupaten akan di tempatkan di Kampung Werabur
Dsitrik Nikiwar,namun wacana tersebut sulit diterima oleh masyarakat setempat mengingat Hutan,batu,kali dan gunun merupakan
ibu kandung bagi masyarakat adat di Kampung Werabur.
Menurut beberapa tokoh adat Wacana Pemekaran daerah
Wamesa tenga dinilai keliru karena secara ekologi Kampung werabur merupakan
daerah resapan air dan hutan sekitar merupakan penyanga bagi kelangsungan hidup
masyarakat adat setempat,sehinnga apa bila pemekaran terus dipaksakan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya yang berdampak pada hilangnya
Nilai-Nilai Kearifan lokal Masyarakat tradisional,dimana ketika tanah dan hutan
kami ditukar dengan pemekaran,maka musnala kita. dan pihaknya juga mengatakan
bahwa bukan dengan pemekaran kita bisa hidup,tetapi masih ada cara lain untuk
mensejhtrakan masyarakat werabur.
SEPTER WEKABURI salah satu tokoh masyarakat ia
menghimbau kepada seluruh masyarakat sekitar kampung Werabur untuk dengan rasa
kita mempertimbangkan niat membentuk
Daerah pemekaran baru,meningat dampak dari pemekaran yang sudah terjadi di
Tanah Papua menunjukan bahwa masyarakat adat sampai dengan saat ini masih saja
menjadi penonton setia menyaksikan seluru hak turunan atas Tanah mereka
dirampas dan dijarah tanpa ada yang tersisa buat anak cucu di kemudian hari.
Di sisi lain Beliau juga menyingung
jangan karena jabatan kita menghancurkan harta karun titipan “IBU
PERTIWI’’ yang tersimpan bertahun-tahun
lamanya,oleh karena itu pihaknya mengharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Teluk
Wondama,Pemerintah KabupatenTeluk Bintuni,Pemerintah Prov Papua Barat dan Pemerintah
Pusat untuk tidak merespon perjuangan
aspirasi pemekaran yang tidak aspiratif itu mengingat sejarah masa laluh
Kampung werabur pada zaman belanda sudah ditetapkan sebagai wilayah perkebunan
karet dan sedangkan untuk pusat Pemerintahan ditaruh di Wondama,jadi tidak
benar kalau Daerah tersebut mau di jadikan pusat Pemerintahan Kabupaten baru
yang sedang di wacanakan saat ini ujar Septer Wekaburi.
XI. Kegiatan
Investasi BP Tangguh
Dari gambaran
Investasi di Teluk Bintuni, nampak sangat jelas, masyarakat adat secara
otomatis telah kehilangan lahan dan sentra-sentra produksi untuk keberlangsungan
hidup. Tanah dan Sumber Daya Alam Telah di kusai atas nama Negara dan dampak
tersebut telah terlihat jelas di Masyarakat adat, namun yang menjadi pertanyaan
jamur investasi diatas sangat menbingungkan karena hingga saat ini belum di ketahui siapa penjualnya. Masyarakat
adat Tidak’’lalu siapa”?
Imigrasi
Dari gambaran
sekilas Proyek LNG tangguh tentang dampak kehadiran BP di kabupaten Teluk
Bintuni terlihat sudah sangat jelas dimana arus imigaran yang setiap saat
datang ke Teluk Bintuni apabilah tidak di antisipasi mahka masyarakat adat di
segi inimnya SDM akan semakin termajinalisasi akibat orang-orang yang hadir
dengan sejumlah kapasitas mereka masing-masing.
Situasi Kemanan
Situasi Kemanan masyarakat sipil di Kabupaten Teluk
Bintuni akhir-akhir ini terlihat jelas aman namun di setiap sudut-sudut kota
maupun dalam kota dan pintu masuk Bandara, Pelabuhan dan Perusahan-perusahan sangat nampak sejalas dengan adanya kehadiran militer yang setiap saat terus
Menerus berdatangan bahkan di tempat-tempat kerameyan dengan gagahnya pihak
keamanan mengendong senjatanya di hadapan rakyat.Dari situasi yang berkembang
tersebut membuat masyarakat adat pasra dan merasa takut untuk menyampaikan kelu
dan kesanya kepada orang yang benar atau kelompok yang benar bahkan
lembaga-lembaga adat sendiri cenderung mendukun kebijakan Pemerintah,Investasi
dan mengabaikan hak-hak rakyat walaupun ada hanya satu (1) atau dua (2) orang
saja yang mau perduli tentang hak-hak Masyarakat adat termasuk keamanannya.
Respon Sejati Rakyat
Dengan melihat kondisi yang cenderung tajam
menyudutkan Masyarakat Sipil, masyarakat hanya pasra menerimah kondisi tersebut
tampah adanya perlawana hal ini disebabkan konrtol dari kemanan yang begitu
ketat menekan hak berdemokrasi bagi setiap manusia,Kelompok sehingga isu-isu
tentang perlawanan hanya bisah di lakukan dengan cara diskusi kelompok yang di
kembangkan di sudut-sudut jalan atau di hutan-hutan maupun di rumah-rumah
mereka tampa adanya perlawana untuk mengkis segala ancaman yang datang sili
berganti hal ini di sebabkan lemahnya SDM local untuk memproteksi ancaman dan
bagaimana mencari solusi jalan keluar penyeleain masala-masalah mereka.dari
berbagai kondisi Masyarakat adat pasrah dan menyerahkan diri mereka kepada
system yang sengaja di ciptakan oleh Lembaga Pemerintah Maupun Perusahan.
Analisis KondisiPengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Teluk
Bintuni yang berlangsung sejak lama mulai dari Minyak,Gas,batu bara,hutan kayu
maupun non kayu dan hasil SDA Pesisir hingga saat ini tidak memberikan manfaat
yang layak bagi Masyarakat Adat.Masyarakat adat di jadikan sebagai obyek dan
menjadi penontong menyaksikan perusahan-perusahan besar masuk dan mengambil
hasil dan masyarakat adat sendiri tidak mengetahui kemanah perginya hasil-hasil
milik Masyaraka adat.Dari pengelolaan SDA alam yang tidak adil sehingga turut
menyebabkan kemiskinan tersebut terjadi di masyarakat dan kondisi ini terjadi
terus menerus bahkan terjadi peningkatan hal ini dapat di lihat dari kondisi
masyarakat yang tidak ada peningkatan kwalitas hidup baik perumahan, kesehatan, pendidkan bahkan ekonomi. Disisi pemerintah sendiri tidak
terlihat focus terhadap kondisi masyarakat yang sangat memprihatingkan
Pemerintah malah memberikan dukungan sebesarnya kepada infestasi dengan alasan
PAD untuk pembagunan masyarakat adat namun kondisi tersebut jauh dari harapan
masyarakat. kondisi tersebut membuat masyarakat adat berpijak pada aras dan
posisi yang tidak menentuh. sisi kemanan masyarakat,militer dengan kekuatannya terus menekan
rakyat kondisi ini membuat masyarakat memilih diam agar investasi-investasi
besar tetap tenan menjalankan usahanya dengan baik walaupun ada janji-janji
perusahaan kepada masyarakat adat namun janji-janji tersebut hanya sebatas
janji yang hasilnya tidak di laksankan.Di sampin itu perusahaan besar yang
bernama BP tangguh juga turut menarik parah pencari kerja untuk terus
berdatangan ke Bintuni di susul dengan masuknya pekerja-pekerja sek bebas yang
masuk secara gelap ke Kabupaten Teluk Bintuni sebagai wanita penghibur sehinga
bisah di simpulkan bahwak kondisi ini akan sangat berdampak terhadap tingginya
HIV dan masalah-masalah social lainnya termasuk kaum perempuan yang akan lebih
dulu menerimah kosekwensi itu karena perempuan merupakan kelompok yang sangat
rentang terhadap kondisi yang akan terjadi maupun yang akan terjadi.Lain hal ini
dengan target LNG yang berencana memproduksi gas pada tahun 2009 telah
menetapkan sonah-sonah terbatas yang tidak akan dilalui oleh Masyarakat adat
maupun kapal-kapal penumpang hal ini juga akan sangat berdapak terhadap ekonomi
terlebih masyarakat adat yang mengantungkan sepenuhnya hidup mereka terhadap
potensi laut sejak turung-temurung akan menangis melihat asset penghidupan
mereka yang tidak akan di kelolah selama produksi LNG berlangsung.Lai hal nya
dengan area sona terbatas yang di kembangkan oleh LNG terkai kemanan lintas
sector akan segera di tingkatkan dari data yang di milki terlihat TNI dan Polri
mulai meningkatkan kemanan dengan mendirikan pos-pos militer di setiap
titik-titik yang di anggap rawan untuk di sentuh.dari kondisi tersebut diatas membuat
masyarakat adat saat ini sedang dalam ketakutan melihat kondisi tersebut namun
di sector lain kondisi ini dipaksakan untuk tetap jalan.